REFORMULASI
USUL FIQH SEBAGAI METODOLOGI HUKUM ALTERNATIF
By:
Syafii Rahman
Paradigma fiqh
literalistik, Paradigma utilitarianistik dan Paradigma liberalistik
penomenologik
Ilmu Ushul fiqh merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia
pemikiran Islam dan tidak dimiliki oleh umat lain.[1] Sebenarnya ilmu ini tidak hanya menjadi metodologi baku
bagi hukum Islam saja, tetapi merupakan metodologi baku bagi seluruh pemikiran
intelektual Islam. Tapi, sejarah pemikiran Islam telah mempersempit wilayah
kerjanya hanya dalam wilayah pemikiran hukum saja. Oleh karena itu, ilmu yang
didirikan oleh asy-Syafi’i (w. 204H/819M) ini oleh ulama-ulama selanjutnya
misalnya oleh al-Qhadli al-Baidlawi (w. 685H/ 1286M) didefinisikan sebagai
“pengetahuan tentang dalil-dalil umum Fiqh (beberapa metode atau kaidah), cara
memanfaatkannya dan pengetahuan tentang orang yang memanfaatkan dalil-dali umum
itu.[2]
Dengan demikian, sangat dapat dimengerti bila dikatakan bahwa kemunduran yang
dialami oleh fiqh Islam dewasa ini diduga kuat juga disebabkan oleh kurang
relevannya perangkat teoritik ilmu Ushul Fiqh untuk memecahkan problem
kontemporer.[3]
Dalam perjalanan sejarah ilmu ini, ar-Risalah karya as-Syafi’i dianggap buku
rintisan pertama tentang ilmu ini. Ar-Risalah yang penulisannya bercorak
teologis-deduktif itu kemudian diikuti oleh para ahli Ushul madhhab
mutakallimun (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah). Sementara itu
ulama Hanafiyah memiliki cara penulisan tersendiri yang bercorak
induktif-analitis. Baik ar-Risalah, buku-buku Ushul madhhab mutakallimun maupun
madhhab Hanafiyah memiliki kesamaan paradigma, yaitu paradigma literalistik
dalam arti begitu dominannya pembahasan tentang text, dalam hal ini text
berbahasa Arab, baik dari segi grammar maupun sintaksisnya dan mengabaikan
pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada di balik teks literal.[4]
Paradigma ini
berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2 H sampai abad ke-7 H)
dan baru mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi (w. 790/1388) pada
abad ke-8 H yang menambahkan teori maqashid as-syari’ah yang mengacu
pada maksud Allah yang paling dasar sebagai pembuat hukum (syari’,
lawgiver). Dengan demikian ilmu Ushul Fiqh tidak lagi hanya terpaku pada
literalisme teks.[5] Kehadiran asy-Syatibi sama sekali tidak menghapus
paradigma literal, tapi ingin lebih melengkapinya agar ilmu ini dapat lebih
sempurna memahami perintah Allah. Dengan demikian, dalam perspektif filsafat
ilmu, asy-Syatibi sebenarnya tidak melakukan apa yang menurut Thomas Khun[6] disebut dengan pergeseran paradigma (paradigma
shift), tapi lebih hanya melengkapi paradigma lama saja, agar tidak terlalu
literalistik. Asy-syatibi dalam perspektif Khun, sesungguhnya tidak melakukan
perubahan revolusioner pada bangunan ilmu Ushul Fiqh.
Enam abad kemudian, sumbangan asy-Syatibi pada abad ke-8H/14M itu,
direvitalisasikan oleh para pembaharu Usul Fiqh di dunia modern, seperti
Muhammad Abduh (w. 1905)[7], Rasyid Ridha (w. 1935)[8], Abdul Wahhab Khallaf (w. 1956)[9], ‘Allal al-Fasi (w. 1973)[10] dan Hasan Turabi.[11] Karena tidak menawarkan teori baru terkecuali
merevitalisasi prinsip mashlahah yang ditawarkan as-Syatibi melalui teori maqashid-nya
itu, maka Wael B. Hallaq mengkategorikan para pembaharu di bidang Ushul dalam
kelompok ini sebagai para pembaharu penganut aliran utilitarianisme.[12]
Sementara itu, pertanyaan tentang bagaimanakah teks suci dapat dipahami dan
kemudian dijalankan dalam konteks dunia modern yang sudah barang tentu tidak
lagi sama dengan konteks zaman Nabi tetap saja masih menjadi agenda besar bagi
umat Islam dewasa ini. Pertanyaan semacam ini menurut sebagian pakar seperti
Muhammad Iqbal[13],
Muhammad Taha[14],
Abdullahi Ahmed Na’im[15],
Muhammad Said Ashmawi[16],
Fazlur Rahman[17],
dan Muhammad Syahrur[18]
sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip mashlahah
klasik di atas. Bahkan mereka beranggapan bahwa prinsip mashlahah tidak lagi
memadai untuk membuat hukum Islam mampu hidup di dunia modern. Dengan mengambil
sample tiga orang pemikir (Asymawi, Fazlur Rahman dan Syahrur), Hallaq
menamakan kelompok ini dengan aliran liberalisme keagamaan (religious
liberalism), karena coraknya yang liberal dan cenderung membuang teori-teori
Ushul Fiqh lama.[19] Menurut Hallaq upaya pembaharuan di bidang ushul dari
kelompok kedua ini dianggapnya lebih menjanjikan dan lebih persuasif. Kelompok
kedua ini dalam rangka membangun metodologinya yang ingin menghubungkan antara
teks suci dan realitas dunia modern lebih berpijak pada upaya melewati makna eksplisit
teks untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks.[20]
Tapi bagaimanapun juga, tawaram pembaharuan Ushul oleh mereka yang disebut
Hallaq dengan kaum liberalis itu tetap saja menyisakan sejumlah kontroversi dan
perdebatan. Tawaran itu hingga saat ini masih dianggap oleh mayoritas ulama
Ushul secara negatif bahkan penuh kecurigaan. Akar utama penyebab kontroversi
ini adalah karena tawaran mereka tidak memiliki landasan kuat pada kerangka
teoritik (Theoritical frame) ilmu Ushul yang telah ada sebelumnya.
Padahal perkembangan suatu ilmu tidak harus berjalan secara evolutif
yang selalu berpijak pada teori lama tapi bisa saja dengan cara revolutif,
di mana sama sekali tidak berpijak pada teori-teori yang telah ada sebelumnya,
tapi menawarkan sebuah paradigma yang sama sekali baru. Perkembangan ilmu
semacam ini disebut “gestalt swich” atau “gestalt shift” alias
pergeseran paradigma (paradigm shift) yang sangat dikenal dalam filsafat
ilmu pengetahuan kontemporer.[21]
[1] Thaha Jabir
al-‘Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence, edisi 2, Edisi
bahasa Inggris oleh Yusuf Talal De Lorenzo dan Anas S. al-Shaikh-Ali, Herdon
–Virginia: IIIT, 1416/1994, xi. Abdul Hamid A. Abu Sulaiman dan Ali Garisyah
memberikan pernyataan serupa. Lihat: Abdul Hamid A. Sulaiman, Crisis in The
Muslim Mind, Herdon Virginia: IIIT, 1415/1993), Ali Garisyah, Metode
Pemikiran Islam (Manhaj al-Tafkir al-Islami), Jakarta: Gema Insani Press,
1989, 56.
[2] Ali. b. Abd.
Al-Kafi as-Subki, al-Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1416. 1995, I. 19.
[3] Abdullahi,
Ahmed al-Na’im dalam bukunya Toward an Islamic Eeformation: Civil Liberties,
Human rights and International Law setidaknya menyebutkan adanya
kesulitan-kesulitan dalam memadukan pola pikir fiqh klasik dan fiqh kontemporer
dalam beberapa hal, antara lain yang terkait dengan Hukum Publik,
Konstitusionalisme Modern, Hukum Pidana, Hukum Internasioan Modern serta Hak
Asasi Manusia.
[4] Dengan meminjam
kerangka analisis al-Jabiry, model berpikir yang memusatkan pada kajian teks
dan bahasa pada umumnya dikategorikan sebagai corak berpikir yang menggunakan epistemologi
Bayani, yang berbeda secara tegas dari medel berpikir dan berijtihad model Burhani
dan lebih-lebih Irfani. Lebih laanjut M. Amin Abdullah, “Al-Ta’wil
al-‘Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, Al-Jami’ah,
vol. 39, 2. 2001. 359-391.
[6] Thomas S. khun,
The Stucture of Scientific Revolutions, Chicago: The University of
Chicago Press, 1970.
[7] Pandangan
tentang Pembaharuan ushul dituangkan dalam buku yang diedit oleh Muhammad
‘Imarah, al-‘Amal al-Kamilah li al-Imam Muhammad ‘Abduh, Ed. Muhammad
Abduh ‘Imarah, 6 vol, Beirut: Al-Mu’assasah al-‘Arabiyah li ad-Dirasah wa
an-Nasyr, 1972-4.
[8] Pemikiran
Pembaharuan ushulnya dapat dijumpai dalam karyanya, Yusr al-Islam wa Ushul
at-Tasri’ al-Am, Kairo: Muthba’ah Nahdlah Mishr, 1956.
[10] Lebih lanjut Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyyah wa
makarimuha, Casablanca: Maktabah al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1963.
[11] Pemikiran
pembaharuan ushulnya dapat dijumpai dalam Tajdid Ushul al-Fiqh, Beirut and
Khortoum: Dar al-Fikr, 1980. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Afif Muhammad dengan judul Pembaharuan Ushul Fiqh. Lihat Hasan
Turabi, Pembaharuan ushul Fiqh, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986. Baca
juga karyanya yang berjudul: Tajdid al-Fikr al-Islami, Rabat: Dar
al-Qarafi li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1993.
[12] Hallaq
mengistilahkannya dengan religious utilitarianism (utilitarianisme
keagamaan) Wael B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories: An
Introduction to Sunni Ushul Fiqh, Cambridge: Cambridge University Press,
1987.
[13] Pandangannya
akan perlunya pembaharuan ushul dapat dijumpai dalam karya magnum opus-nya, The
reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Ashraf Press,
1971.
[14] Konsep
pembaharuan ushulnya yang sangat khas dengan teori naskh model barunya dapat
dibaca dalam karyanya yang diterjemahkan oleh muridnya, Abdullahi Ahmed
an-Na’im ke dalam bahasa Inggris dengan judul: The Second Message of Islam,
alih bahasa: Abdullahi Ahmed an-Na’im (Syiracuse: Syiracuse University Press,
1987.
[15] Pemikiran
pembaharuan ushulnya yang pada dasarnya merupakan pengembangan lebih lanjut
dari ide gurunya, Mahmud Muhammad Taha, dituangkan dalam karyanya yang terkenal
dengan judul Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights,
and International Law, Syracus: Syracus University Press, 1990.
[17] Fazlur Rahman,
Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law: Sheikh Yamani on Public
Internal on Islamic Law”, New York University Journal of International Law
and Politics 12 (1979): 219-24. Teori Rahman yang kemudian terkenal dalam
peraturan pemikiran Islam adalah “gerak ganda” atau double movement yang
selalu mengaitkan antara ideal moral al-Qur’an dan legal-spesifik dalam
masyarakat dalam satu keutuhan gerak dialektika.
[18] Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an dan Qir’ah Mu’asirah (Damaskus: al-Ahab
li ath-Thiba’ah li an-Nasyr wa at-Tauzi, 1992). Syahrur mempopulerkan “teori
hudud” yang diambil inspirasinya dari ilmu-ilmu kealaman dalam memahami
perintah-perintah tuhan dalam kitab suci.
[20] Meskipun
tradisi keilmuan yang sedikit berbeda, yaitu Sastra, pendapat Nasr Hamid Abu
Zaid dalam bukunya Naqd al-Khitab al-Diny dan al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah
juga relevan untuk memperkaya basic theory perlunya perumusan paradigma baru
dalam fiqh kontemporer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar