Minggu, 06 Januari 2013

Fiqh Dan Hubungannya Dengan Agama Dan Ibadah



Pengantar Mata Kuliah Fiqh 1
Fiqh Dan Hubungannya Dengan Agama Dan Ibadah
(Bagian Pertama)
Oleh: Moh. Dliya’ul Chaq

1.  Hubungan Agama dengan Ibadah dan Definisinya
Kata Agama sendiri berasal dari kata Sanskrit (sansekerta). Satu pendapat mengatakan bahwa kata agama tersusun dari dua kata (a:tidak) dan (gama:pergi). Jadi agama itu tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun menurun. Ada juga yang mengatakan agama berasal dari kata gam yang berarti tuntunan. Memang agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup pemeluknya. Sedangkan dalam bahasa Semit agama diartikan dengan undang-undang atau hukum. Istilah lain agama, diantaranya religi yang berasal dari bahasa eropa dan latin yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Memang agama merupakan kumpulan cara-cara mengabdi yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. (Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, UI-Press:Jakarta, 2001, hal, 1 dan 2)
Dalam bahasa arab, agama dikenal dengan diin (دين). Secara harfiyah kata diin memiliki beberapa arti, seperti adat, cara, kebiasaan, peraturan, perundang-undangan, taat, patuh, mentauhidkan Yuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat, nasehat, pemilikan dan pemaksaan. Dari makna ini Al-Maududi mengklasifikan menjadi empat kategori: (1) Pemaksaan, penguasaan, hukum dan perintah untuk di taati sehingga memaksa untuk ditaati, (2) rasa taat, penghambaan dan kerendahan kepada seseorang dan menuruti perintahnya serta menerima kerendahan di bawah paksaannya, (3) undang-undang, jalan, madzhab, agama, adat dan taqlid, (4) balasan, putusan dan perhitungan.
Namun dari makna sebanyak itu, kata diin (دين) seakar kata dengan dain (دين) yang berarti hutang. Persamaan ini bukan tanpa makana tetapi memiliki relasi kuat. Artinya adalah makna dasar agama adalah hutang itu sendiri yang harus di bayar. Hutangnya adalah eksistensi manusia yang semula tidak ada, menjadi ada (QS. Al-A’raf:172-173 dan QS. Al-Mukminun: 13-14). Eksistensi tersebut dalam istilah tasawuf oleh Ibnu Atho’illah As-Sakandari disebut (نعمة الإيجاد). Adapun pembayaran hutang terapresiasikan dalam bentuk ketaatan kepada penghutang (Allah) yang disebut dengan Ibadah.
Ibadah memiliki arti harfiyah sebuah ketundukan, kepatuhan, ketaatan. Sedangkan terdapat variasi terminologi agama menurut beberapa ulama’ dari berbagai disiplin keilmuannya:
a.     Menurut Ulama’ Tauhid dan Hadits: Mengesakan dan mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa kepada-Nya.
b.    Ulama’ ahli akhlaq mendefiniskan: Mengerjakan segala bentuk ketaatan badaniyyah dan menyelenggarakan segala syari’at
c.     Ulama’ tasawuf: Pekerjaan mukallaf yang berlawanan dengan keinginan nafsunya untuk mengagungkan Tuhannya.
d.    Ulama’ Ahli Fiqh: Segala bnetuk ketaatan yang dikerjakan untuk mencapai keridloan Allah SWT dan mengahrapkan pahala di akhirat.
Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik pengertian secara umum, ibadah adalah suatu nama yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridlai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan mengharap pahalanya.
Jadi hubungan antara agama dengan ibadah adalah sebuah apresiasi bentuk ketaatan pada peraturan Tuhan (agama) dan keyakinan terhadap Tuhan dalam rangka membayar hutang (berterima kasih) terhadap Tuhan yang telah mengadakan eksistensi makhluq (manusia).

2.  Hubungan Antara Fiqh dan Ibadah
Ibadah adalah istilah dari apresiasi bentuk ketaatan pada peraturan Tuhan dan keyakinan terhadap Tuhan. Peraturan atau titah Tuhan dalam agama islam disebut dengan syara’ atau syari’at.
وقال التَّهانَويُّ في « كشاف اصطلاحات الفنون » : « الشريعة : ما شرع الله - تعالى - لعباده من الأحكام التي جاء بها نبيٌّ من الأنبياء صلى الله عليهم وعلى نبينا وسلم سواء كانت متعلقة بكيفية عمل ، وتسمى فرعية وعملية ، ودوِّن لها علم الفقه ؛ أو بكيفية الاعتقاد وتسمى أصلية واعتقادية ، ودوِّن لها علم الكلام . ويسمى الشرع أيضاً : الدِّين والملَّة ؛ فإن تلك الأحكام من حيث إنها تُطاع : دِينٌ ، ومن حيث إنها تُملى وتكتب : ملَّة ، ومن حيث إنها مشروعة : شَرْع . فالتفاوت بينها بحسب الاعتبار ، لا بالذات ، إلا أن الشريعة والملة تضافان إلى النبيِّ عليه الصلاة والسلام ، وإلى الأمة - فقط - استعمالاً ، والدين يضاف إلى الله تعالى أيضاً . وقد يخصّ الشرع بالأحكام العملية الفرعية » .
“Menurut At-Tahnawi dalam kitab kasyyaf istilahat al-funun bahwa syari’at adalah hokum-hukum yang disyari;atkan atau ditetapkan Allah SWT untuk hambanya yang dibawa oleh seorang nabi, baik berhubungan dengan cara mengerjakan amal yang dinamakan far’yyah amaliyyah, dan sebab itulah disusun ilmu fiqh. Atau berhubungan dengan akidah yang dinamakan ashliyyah i’tikadiyyah yang karena itulah disusun ilmu kalam. Syara’ juga disebut dengan diin (دين) dan millah (ملة). Jika dari segi hukum (syari’at) untuk dijalankan, diamalkan dan ditaati maka disebut dengan diin. Dan jika dari segi hukum (syari’at) untuk disusun atau ditulis maka disebut dengan millah. Dan jika dari segi hukum (syari’at) untuk dituntutkan maka disebut syara’. Jadi perbedaan antara istilah tersbut hanya dari sudut pandangnya bukan pada isinya. Hanya saja istilah syari’at dan millah disandarkan pada Nabi dan Ummat untuk kerjakan, sedangkan diin disandarkan pada Allah. Dan terkadang istilah syara’ hanya khusus untuk hukum-hukum amaliyah yang far’i”
Jadi fiqh merupakan implementasi aturan Tuhan yang harus ditatati yang khusus dalam hal ahkam amaliyyah atau far’iyyah amaliyyah. Adapun apresiasi ketaatan terhadap hukum tersebut (pe;aksanaan hukum) dinamakan ibadah. Begitu juga ketaatan terhadap hukum yang berhubungan dengan akidah yang dinamakan ashliyyah i’tikadiyyah yang trsusun dalam ilmu kalam juga disebut ibadah.

3.  Fiqh dan Perkembangannya
Jika merujuk pada pedoman islam, al-qur’an telah meggunakan redaksi fiqh dengan berbagai varian derivasinya mengindikasikan bahwa terma fiqh sudah ada sejak zaman pra Islam. sebagaimana surat Thaha ayat 27-28, wahlul ‘uqdatan min lisani yafqahu qaauli yang artinya “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, Supaya mereka mengerti perkataanku”. Dalam ilmu morfologi Arab, kata yafqahu adalah derivasi dari bentuk asli (mashdar), fiqh.

Namun pada masa pra Islam penggunaan kata fiqh tidak menunjukkan makna yang sama seperti makna terminologis yang sekarang kita kenal sebagai hukum Islam. Kata fiqh dalam ayat itu mempunyai arti mengerti (al ‘ilm) dan memahami (al fahm) sampai kepada batas yang mendalam sesuai dengan arti secara lughowi. Al-Amidi dalam bukunya Al Ihkam, membedakan antara al ‘ilm dan al fahm. Keduanya merupakan makna fiqh. Menurutnya, Al fahm adalah kecerdasan nalar, meskipun orang yang bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan (al ‘ilm). Makna al fahm menurut Ibn Al Qayyim dalam I’lam Al Mauqi’in menganggap al fiqh lebih istimewa dari al fahm. Ia menuliskan “Fiqh lebih istimewa karena ia adalah kekuatan daya tangkap seseorang atas pihak yang berbicara (mutakallim). Sedangkan al fahm adalah memahami apa yang tertulis. Karena perbedaan daya tangkap ini lah, berbeda tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka”.
Pada masa sahabat terminologi fiqh dinyatakan dengan pengetahuan yang tidak mudah diketahui umum yang didapatkan dengan penyelidikan dan penelitian yang mendalam. Term ini menunjukkan kesamaan makna antara ilmu dan fiqh.
layaknya fenomena bahasa secara general. Cakupan dan perubahan makna fiqh selalu dipengaruhi perkembangan lingkungan di luar dirinya. Kekayaan kosa kata dalam semua bahasa sangat dipengaruhi oleh interaksi bahasa itu dengan budaya di luar budaya yang membentuk dan memilikinya. Bangsa Arab ketika mengalami futuhat ke wilayah-wilayah Yunani dan Persi harus melahirkan bahasa-bahasa baru. Muncul lah terma al arudl, al bahr al thawil, al madid, al nahw, al fa’il, al maf’ul, al qadliyyah, al qiyas, al istihsan dst. sebagai konsekwensi bagi proses akulturasi dan adaptasi budaya. Terma fiqh juga mengalami perkembangan serupa.
 Pada abad II Hijrah menggunakan terma fiqh mencakup tema-tema tasawwuf dan ilmu kalam. Dalam sebuah cerita Imran Al Munqiri, Hasan (Abu Said) mengatakan bahwa al faqih adalah al zahid fi al dunya, al raghib fi al akhirah, al bashir bi amri dinihi al mudawim ala ibadati rabbihi (Faqih adalah orang yang zuhud di dunia, menyukai akhirat, mengerti perkara agama dan selalu beribadah kepada Tuhannya). Riwayat ini bisa kita temukan dalam Sunan Al Darimi. Ali Ibn Abi Thalib pernah menggunakan terma fiqh yang justru merujuk kepada tema-tema moralistik. Ia mengatakan “Faqih, sebenar-benar faqih, adalah orang yang tidak menjauhkan manusia dari kasih sayang Allah, tidak membiarkan mereka dalam kemaksiatan, tidak mengajak mereka kepada siksa Allah dan tidak meninggalkan Al Quran demi perkara lain…”. Tidak adanya spesifikasi yang khusus atas terma fiqh ini terjadi sampai pertengahan abad ke dua. Maka kita masih bisa memahami jika Abu Hanifah menuliskan Al Fiqh Al Akbar yang nota bene berbicara bukan fiqh, melainkan akidah. Abu Hanifah menyatakan bahwa fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban. Sehingga masuk dalam pengertian ini masalah kepercayaan, akhlaq, tasawuf, dll. Bahkan terdapat istilah Fiqh adalah mengetahui sesuatu yang bermanfaat dan merugikan diri seseorang.
Setelah terma fiqh melewati abad ke dua, terutama setelah cabang pengetahuan hukum Islam mekar dan berkembang sedemikan rupa, ia mulai mengalami spesifikasi makna. Yaitu ketika karya-karya induk dalam disiplin ini cukup merata di seentareo wilayah Islam dan diikuti tradisi pengembangan literatur-literatur induk berupa syarkh (komentar), ikhtishar, khulasah (resume) syarkh-syarkh (komentar atas komentar) yang membuncah. Wacana fiqh mulai menghegemoni. Bahkan kemudian sampai bisa disimpulkan bahwa teori hukum Islam yang mulanya disistematiasikan Al Syafi’i di abad II menjadi laiknya the queen of Islamic science.
Kemudian banyak alim yang tak nyaman dengan penggunaan terma fiqh yang tak terspesifikasi. Akhirnya spesifikasi term fiqh terjadi. Namun Para Ulama’ bervariasi dalam mendefinisikan Fiqh menurut terminologi syara’, tetapi semua definisi bermaksud sama, yakni:
الفقه هو العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syari’ah yang bersifat amaliyyah (sebuah pekerjaan) yang cara memperolehnya digali dari dalil-dalil syari’at yang terperinci.”

Dari terma ini terdapat beberapa penjelasan:
a.     Fiqh sebagai ilmu (الفقه علم), maksudnya bahwa fiqh memiliki objek dan kaidah tersendiri. Jelas bahwa objek fiqh adalah af’alul mukallaf, maka pastinya bukan hati, aqal dan rasa yang menjadi objeknya.
b.    Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syari’ah (الفقه العلم بالأحكام الشرعية), maksudnya bahwa hukum-hukum syari’ah digali dengan metode sam’i (pengamatan) yang bersumber dari syara’ bukan bersumber dari akal misalnya pengetahuan tentang alam adalah sesuatu yang baru, dan bahwa satu adalah separuh dari dua. Begitu juga bersumber dari ketetapan (الوضع) dan istilah bahasa (الاصطلاح اللغوي). Oleh sebab itu hokum syar’i merupakan kaidah yang ditetapkan syara’. Adapun kaidah tersebut terkadang mengandung hokum tuntutan baik term tahalab atau taklif (tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan), dan mengandung hukum wadl’i (hokum yang dating sebagai menjadi sebab, syarat, mani’, sah dan fasid)
c.     Fiqh adalah ilmu tentang hokum-hukum syar’iyyah yang bersifat amaliyyah (الفقه العلم بالأحكام الشرعية العملية), maksudnya bahwa hokum fiqh berhubungan dengan masalah perilaku (amaliyah) yang berhubungan dengan perbuatan badaniyyah manusia dalam hal ibadah dan interaksi keseharian (mu’amalah yaumiyah). Maka hokum yang tidak berhubungan dengan masalah perilaku bukanlah termasuk kategoei fiqh, misalnya hokum akidah dan hokum tentang perbaikan hati yang disebut ilmu tasawuf sebab hal itu berhubungan dengan keadaan hati.
d.    Fiqh adalah ilmu yang digali dari dalil-dalil hokum yang terperinci (علم الفقه مكتسب من أدلة الأحكام التفصيلية), maksudnya bahwa hokum-hukum bukanlah termasuk fiqh kecuali jika hokum tersebut disandarkan pada syara’. Jadi jika peraturan pemerintah tidak bersandar atau bersumber pada syara’ maka bukan termasuk fiqh.

Jadi Jati diri Ilmu Fiqih terdiri atas sekelompok besar hukum syari’ah (bersumber wahyu), berobyek bahasan perilaku orang mukallaf (praktis, bukan etis atau estetis), dikembangkan dari dalil-dalilnya (normatif) yang sistematika perumusan simpulannya ditempuh dengan berbagai teori dan metode ijtihad.

Jika dalam disiplin ilmu dikenal mabadi’ asyroh (sepuluh pengantar), maka fiqh sebagai suatu ilmu juga memilikinya:
1)   Definisi Fiqh
Definis secar jelas telah diterangkan dalam pembahsan terma fiqh dan perkembangannya.

2)   Sumber Hukum Fiqh:
Sumber hukum fiqh dalam hal ini bersumber pada Kitabullah, Sunnatur Rosul, yang kemudian ditetapkan dengan jalan ijtihad (ijma’ dan qiyas).

3)   Faidah ilmu fiqh;
Dengan ilmu fiqh, manusia dapat mengetahui mana yang dioperintah, yang dilarang, yang haram, yang halal, yang sah, yang batal dan yang fasid. Selain itu manusia dapat mengetahui cara menyelenggarakan ibadah dan memelihara jiwa.
4)   Pembahasan / Objek Ilmu Fiqh
Yang menjadi objek ilmu fiqh adalah tindakan hukum mukallaf. Oleh sebab fiqh mengatur aspek pokok kehidupan manusia;
a.        Mengatur langsung hubungan trnsendental manusia dengan Penciptanya (Ubudiyyah)
b.       Mengatur aspek kehidupan yang mempunyai korelasi langsung dengan pengelolaan kehidupan material dan social yang bersifat duniawi. (mu’amalah). Aturan aspek duniawi dan social ini dalam perkembangannya oleh abdul Wahab Kholaf diakatakan mengandung aspek:
a)       Hukum Keluarga (akhwalus shakhshiyyah) termasuk munakahat.
b)      Hukum transaksi keuangan / perdaganagn dan hak (Mua’amalah madaniyyah)
c)       Hukum Pidana (jina’iyyah)
d)      Hukum Peradilan (Qodlo’ / Murofa’at)
e)       Hukum penyususnan perundang-undangan (Dusturiyyah)
f)       Hukum ketatanegaraan (Dauliyah)
g)      Hukum Ekonomi dan Keuangan (Iqtishodiyyah wa maliiyah)

5)   Hukum Mempelajari Fiqh
Sebab ilmu fiqh mengatur tentang ibadah yang menjadi inti agama, maka ilmu fiqh wajib dipelajari. Namun di dalamnya, terdapat hal yang wajib dipelajari seluruh muslim dan wajib dipelajari beberapa golongan muslim. Yang wajib dipelajari seluruh muslim adalah yang berhubungan dengan kewajiban sebagai mukallaf secara  umum seperti sholat, zakat, dan semacamnya. Adapun yang wajib diketahui beberapa golongan adalah tentang sayarat qodli yang harus diketahui golongan qodli dan semacamnya.

6)   Masalah / isi Fiqh
Masalah yang dibahas adalah ketetapan dan keterangan fiqh, misalnya sholat itu wajib, wudlu’ itu syarat sah sholat, masuk waktu sholat adalah sebab diwajibkannya sholat.

7)   Penyusun Ilmu Fiqh
Penyusun ilmu fiqh adalah apara mujtahid.

8)   Keutamaan ilmu Fiqh
Mengetahui jalan untuk mendapat keselamatan dunia dan akhirat (sa’adatud daroini). Selain itu mampu mengetahui sebagian besar ilmu hukum yang dikehendaki agama.

9)   Nama-Nama Ilmu Fiqh
Ilmu Fiqh, Ilmu Furu’ (membahas hukum cabang yakni hukum amaliyah), Ilmu hal (ilmu yang berlaku di dunia), ilmu halal wal haram, ilmu syara’ wal ahkam.

10)Perbandingan Ilmi Fiqh dengan ilmu lain
Perbandingan yang lebih dari ilmu ini adalah pembahasan tentang kebaikan lahir (urusan amaliyah) sebagaimana kelebihan dalam ilmu tauhid dan tasawuf untuk kebaikan batin, dimana tauhid untuk kebaikan i’tikad dan tasawuf untuk kebaikan rohani.

11)Ilmu Pendukung Ilmu Fiqh
Ilmu pendukungnya adalah fannul furuq (perbedaan bentuk hukum), fannul ahkamis shulthoniyyah (kemasarakatan dan ketatanegaraan), Fannul bida’ (penolakan bid’ah dan penguatan sunnah), Fannul Adab (tata adab yang berhubungan dengan implikasi hukum), fannul khilaf (kaidah mempertahankan hukum hasil ijtihad ulama’ yang berbeda dan membantah hukum).


4.  Sekilas Fiqh Sebelum Islam
Sejarah masyarakat arab, sebelum islam datang, terbagi menjadi masyarakat kota dan masyarakat badui. Masyarakat kota hidup menetap dan menciptakan budaya, bertanam dan berdagang. Suku Quraisy mempunyai musim ekpedisi dagang. Musim panas berdagang ke Syam. Musim dingin ke Yaman. Masyarakat badui hidup nomaden, penggembala. tak bisa baca tulis, hidup di padang pasir, sering bertengkar dan bermusuhan, suka merampas, merampok dan berperang. Tradisi balas dendam adalah kewajiban suci orang Arab. Otoritas penyelesai perkara adalah setiap orang yang berselisih sendiri.
Saat itu Makkah telah menjadi pusat aktifitas masyarakat saat pelaksanaan haji. Di sana mereka membanggak`n keturunan, memuliakan nenek moyang, mendendangkan puisi, bahkan diskusi. Mayoritas orang Arab menyembah berhala walaupun sebagian Yahudi dan Nasrani yang melarang mengubur anak perempuan, tidak minum arak dan berjudi.
Hukum yang berlaku adalah tradisi kabilah. Ada juga pengaruh ajaran-ajaran Kristen seperti ayah adalah pemimpin keluarga yang ditataati dan diambil nasehatnya. Anggota keluarga mempunyai kebebasan diri dan keuangan. Namun seorang ayah akan bermusyawarah dengan anak perempuannya prihal pasangan mereka. Model pernikahan saat itu Nikah Mut’ah, Syighar, Akhdzan dan Baghoya. Tradisi mengubur anak perempuan hanya dilakukan sebagian Bani Tamim dan Bani Asad. Itu pun terbatas pada komunitas miskin. Tradisi khitbah dan pernikahan yang lazim pada masa sekarang juga merupakan bagian dari tradisi mereka. Dalam masyarakat Arab menikahi dua perempuan bersaudara dibolehkan. Mekanisme talak saat itu; dlihar, ila dan talak seperti kita ketahui sekarang namun tidak mengenal batas hitungan talak dan dapat merujuknya kembali sebelum masa ‘idah (penantian). Jika terjadi setelah masa ‘idah, mereka tidak bisa mengawininya kembali kecuali atas persetujuan pihak perempuan.
Bentuk warisan saat itu adalah Al Qarabah, Tabanni dan Al Half wa Al ‘Ahd dan Al-Wila’. Sebab-sebab kepemilikan yang berlaku adalah paksaan, waris, wasiat, hibah, jual beli, judi dan penipuan, kesepakatan riba (pelebihan). Ketika masa pinjaman sudah berlalu, pihak yang meminjami akan memberikan pilihan kepada si peminjam untuk memilih antara mengembalikan utuh atau melebihkan pinjaman. Mereka biasa mengatakan “Addi au arrib” (Lunasi atau lebihkan).
Dalam hal sengketa mereka mengenal qiyafah. Tidak hanya itu, qiyafah juga berfungsi dalam keputusan tindak kriminal. Orang Arab bisa mengenali siapa pelaku dengan meneliti jejak-jejak kaki. Farrasah juga merupakan bagian dari keahlian orang Arab menentukan siapa pelaku kriminal dengan memperhatikan suara, raut wajah dan gerak orang yang berbicara. Cara lain adalah Qassamah. Dalam hal kriminal juga dikenal diyat. Sisi lain etika perjamuan, berpakaian, pesta pernikahan, hari-hari besar sudah ada dan dipraktekkan oleh bebagai kalangan kabilah.
Dalam tradisi politik, mereka mengenal syura. Dalam hal peribadatan, kepercayaan dan ritual mereka melakukan penghormatan Ka`bah dan Tanah Suci Makkah, prosesi Haji dan Umrah, mensucikan Bulan Ramadhan, memuliakan bulan Dzul Qa`dah, Dzul Hijjah, Muharram, Rajab yang sering disebut “Al Asyhur Al Haram” dan berkumpul di hari Jum`at.

5.  Fiqh Masa Kini (Kontemporer)
Fiqh masa kini disebut dengan Fiqih Mu’ashirah dengan obyek kajian al-waqi’ah al-ashriyah. Dalam kenyataan masalah yang mewarnai kajian fiqh kontemporer terdiri atas kasus aktual (nyata terjadi dan hangat menurut saatnya) dengan ciri umum belum terangkat dalam referensi fiqih klasik, namun kebutuhan untuk memperoleh pemecahan hukum dari masyarakat cukup besar. Maka jawaban atas masalah tersebut harus dikonsultasikan dengan Ilmu Fiqh.
Oleh sebab itu untuk menjawab dan menyelesaikan problem hukum baru harus memanfaatkan semua perangkat metodologis Ilmu Fiqih, antara lain: pola pendekatan legal formalistik, pengoperasian al-qawa’id al-fiqhiyah, penyimpulan dalil-dalil syar’i dengan berpedoman teori ushul al-fiqh, kajian filsafat dan hikmatu al-tasyri’ dan pengadaan bukti referensi tekstual berupa kitab-kitab fiqih untuk kepentingan pertanggung-jawaban ilmiah sesuai tradisi ilmu fiqih. .Contoh masalah-masalah hukum kontemporer: (a) perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda; (b) harta gono-gini; (c) perubahan kelamin; (d) pajak obyek waris; (e) zakat jasa; (f) bunga deposito; (g) obligasi; (h) asuransi; dan (i) SMS berhadiah. (Hasjim Abbas).
Maka saat ini diharapkan timbul sikap kesadaran umat Islam betapa Ilmu Fiqih sebagai disiplin ilmu berwatak dinamis, sarat perbendaharaan konsep hukum, doktrin hukum, fatwa hukum, yurisprudensi dan kodifikasi hukum ijtihadiyah. Sikap kesadaran tersebut setidaknya meyakinkan umat bahwa fiqih siap menyajikan jawaban, minimal modal dasar pemecahan hukum terhadap masalah-masalah yang tengah dirasakan masyarakat sehubungan dinamika kehidupan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tehnologi.

Tidak ada komentar: