Pengantar
Mata Kuliah Fiqh 1
Fiqh Dan
Hubungannya Dengan Agama Dan Ibadah
(Bagian Pertama)
Oleh: Moh. Dliya’ul
Chaq
1. Hubungan Agama dengan Ibadah dan
Definisinya
Kata Agama sendiri
berasal dari kata Sanskrit (sansekerta). Satu pendapat mengatakan bahwa kata
agama tersusun dari dua kata (a:tidak) dan (gama:pergi). Jadi agama itu tidak
pergi, tetap ditempat, diwarisi turun menurun. Ada juga yang mengatakan agama
berasal dari kata gam yang berarti tuntunan. Memang agama mengandung
ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup pemeluknya. Sedangkan dalam bahasa
Semit agama diartikan dengan undang-undang atau hukum. Istilah lain agama,
diantaranya religi yang berasal dari bahasa eropa dan latin yang mengandung
arti mengumpulkan dan membaca. Memang agama merupakan kumpulan cara-cara
mengabdi yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. (Harun Nasution, Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, UI-Press:Jakarta, 2001, hal, 1 dan 2)
Dalam bahasa arab,
agama dikenal dengan diin (دين). Secara harfiyah
kata diin memiliki beberapa arti, seperti adat, cara, kebiasaan, peraturan,
perundang-undangan, taat, patuh, mentauhidkan Yuhan, pembalasan, perhitungan,
hari kiamat, nasehat, pemilikan dan pemaksaan. Dari makna ini Al-Maududi
mengklasifikan menjadi empat kategori: (1) Pemaksaan, penguasaan, hukum dan
perintah untuk di taati sehingga memaksa untuk ditaati, (2) rasa taat,
penghambaan dan kerendahan kepada seseorang dan menuruti perintahnya serta
menerima kerendahan di bawah paksaannya, (3) undang-undang, jalan, madzhab,
agama, adat dan taqlid, (4) balasan, putusan dan perhitungan.
Namun dari makna
sebanyak itu, kata diin (دين) seakar kata
dengan dain (دين) yang berarti
hutang. Persamaan ini bukan tanpa makana tetapi memiliki relasi kuat. Artinya
adalah makna dasar agama adalah hutang itu sendiri yang harus di bayar.
Hutangnya adalah eksistensi manusia yang semula tidak ada, menjadi ada (QS.
Al-A’raf:172-173 dan QS. Al-Mukminun: 13-14). Eksistensi tersebut dalam istilah
tasawuf oleh Ibnu Atho’illah As-Sakandari disebut (نعمة الإيجاد). Adapun pembayaran hutang terapresiasikan dalam bentuk
ketaatan kepada penghutang (Allah) yang disebut dengan Ibadah.
Ibadah memiliki arti
harfiyah sebuah ketundukan, kepatuhan, ketaatan. Sedangkan terdapat variasi
terminologi agama menurut beberapa ulama’ dari berbagai disiplin keilmuannya:
a. Menurut Ulama’ Tauhid dan Hadits:
Mengesakan dan mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan
menundukkan jiwa kepada-Nya.
b. Ulama’ ahli akhlaq mendefiniskan:
Mengerjakan segala bentuk ketaatan badaniyyah dan menyelenggarakan segala
syari’at
c. Ulama’ tasawuf: Pekerjaan mukallaf yang
berlawanan dengan keinginan nafsunya untuk mengagungkan Tuhannya.
d. Ulama’ Ahli Fiqh: Segala bnetuk
ketaatan yang dikerjakan untuk mencapai keridloan Allah SWT dan mengahrapkan
pahala di akhirat.
Dari berbagai
pengertian di atas dapat ditarik pengertian secara umum, ibadah adalah suatu
nama yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridlai Allah, baik
berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi
dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan mengharap pahalanya.
Jadi hubungan antara
agama dengan ibadah adalah sebuah apresiasi bentuk ketaatan pada peraturan
Tuhan (agama) dan keyakinan terhadap Tuhan dalam rangka membayar hutang
(berterima kasih) terhadap Tuhan yang telah mengadakan eksistensi makhluq
(manusia).
2. Hubungan Antara Fiqh dan Ibadah
Ibadah adalah istilah
dari apresiasi bentuk ketaatan pada peraturan Tuhan dan keyakinan terhadap Tuhan.
Peraturan atau titah Tuhan dalam agama islam disebut dengan syara’ atau
syari’at.
وقال التَّهانَويُّ في « كشاف
اصطلاحات الفنون » : « الشريعة : ما شرع الله - تعالى - لعباده من الأحكام
التي جاء بها نبيٌّ من الأنبياء صلى الله عليهم وعلى نبينا وسلم سواء كانت متعلقة بكيفية عمل ، وتسمى فرعية وعملية ، ودوِّن لها علم الفقه ؛ أو بكيفية الاعتقاد وتسمى أصلية واعتقادية ، ودوِّن لها علم الكلام . ويسمى الشرع أيضاً : الدِّين والملَّة
؛ فإن تلك الأحكام من حيث إنها تُطاع : دِينٌ ، ومن حيث إنها تُملى وتكتب : ملَّة ، ومن حيث إنها
مشروعة : شَرْع . فالتفاوت بينها بحسب الاعتبار ، لا بالذات ، إلا أن الشريعة
والملة تضافان إلى النبيِّ عليه الصلاة والسلام ، وإلى الأمة - فقط - استعمالاً
، والدين يضاف إلى الله تعالى أيضاً . وقد يخصّ الشرع بالأحكام العملية الفرعية » .
“Menurut
At-Tahnawi dalam kitab kasyyaf istilahat al-funun bahwa syari’at adalah
hokum-hukum yang disyari;atkan atau ditetapkan Allah SWT untuk hambanya yang
dibawa oleh seorang nabi, baik berhubungan dengan cara mengerjakan amal yang
dinamakan far’yyah amaliyyah, dan sebab itulah disusun ilmu fiqh. Atau
berhubungan dengan akidah yang dinamakan ashliyyah i’tikadiyyah yang karena
itulah disusun ilmu kalam. Syara’ juga disebut dengan diin (دين) dan millah (ملة). Jika dari segi hukum (syari’at) untuk
dijalankan, diamalkan dan ditaati maka disebut dengan diin. Dan jika dari segi
hukum (syari’at) untuk disusun atau ditulis maka disebut dengan millah. Dan
jika dari segi hukum (syari’at) untuk dituntutkan maka disebut syara’. Jadi
perbedaan antara istilah tersbut hanya dari sudut pandangnya bukan pada isinya.
Hanya saja istilah syari’at dan millah disandarkan pada Nabi dan Ummat untuk
kerjakan, sedangkan diin disandarkan pada Allah. Dan terkadang istilah syara’
hanya khusus untuk hukum-hukum amaliyah yang far’i”
Jadi fiqh merupakan
implementasi aturan Tuhan yang harus ditatati yang khusus dalam hal ahkam
amaliyyah atau far’iyyah amaliyyah. Adapun apresiasi ketaatan
terhadap hukum tersebut (pe;aksanaan hukum) dinamakan ibadah. Begitu juga
ketaatan terhadap hukum yang berhubungan dengan akidah yang dinamakan ashliyyah
i’tikadiyyah yang trsusun dalam ilmu kalam juga disebut ibadah.
3. Fiqh dan Perkembangannya
Jika merujuk pada
pedoman islam, al-qur’an telah meggunakan redaksi fiqh dengan berbagai varian
derivasinya mengindikasikan bahwa terma fiqh sudah ada sejak zaman pra Islam. sebagaimana
surat Thaha ayat 27-28, wahlul ‘uqdatan min lisani yafqahu qaauli yang
artinya “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, Supaya mereka mengerti
perkataanku”. Dalam ilmu morfologi Arab, kata yafqahu adalah derivasi
dari bentuk asli (mashdar), fiqh.
Namun pada masa pra
Islam penggunaan kata fiqh tidak menunjukkan makna yang sama seperti makna
terminologis yang sekarang kita kenal sebagai hukum Islam. Kata fiqh dalam ayat
itu mempunyai arti mengerti (al ‘ilm) dan memahami (al fahm) sampai kepada
batas yang mendalam sesuai dengan arti secara lughowi. Al-Amidi dalam bukunya
Al Ihkam, membedakan antara al ‘ilm dan al fahm.
Keduanya merupakan makna fiqh. Menurutnya, Al fahm adalah kecerdasan
nalar, meskipun orang yang bersangkutan tidak mempunyai pengetahuan (al ‘ilm). Makna
al fahm menurut Ibn Al Qayyim dalam I’lam Al Mauqi’in menganggap al fiqh lebih
istimewa dari al fahm. Ia menuliskan “Fiqh lebih istimewa karena ia adalah
kekuatan daya tangkap seseorang atas pihak yang berbicara (mutakallim).
Sedangkan al fahm adalah memahami apa yang tertulis. Karena
perbedaan daya tangkap ini lah, berbeda tingkat pemahaman dan pengetahuan mereka”.
Pada masa sahabat
terminologi fiqh dinyatakan dengan pengetahuan yang tidak mudah diketahui umum
yang didapatkan dengan penyelidikan dan penelitian yang mendalam. Term ini
menunjukkan kesamaan makna antara ilmu dan fiqh.
layaknya fenomena
bahasa secara general. Cakupan dan perubahan makna fiqh selalu dipengaruhi
perkembangan lingkungan di luar dirinya. Kekayaan kosa kata dalam semua bahasa
sangat dipengaruhi oleh interaksi bahasa itu dengan budaya di luar budaya yang
membentuk dan memilikinya. Bangsa Arab ketika mengalami futuhat ke
wilayah-wilayah Yunani dan Persi harus melahirkan bahasa-bahasa baru. Muncul
lah terma al arudl, al bahr al thawil, al madid, al nahw, al fa’il, al maf’ul,
al qadliyyah, al qiyas, al istihsan dst. sebagai konsekwensi bagi proses
akulturasi dan adaptasi budaya. Terma fiqh juga mengalami perkembangan serupa.
Pada abad II Hijrah menggunakan terma fiqh
mencakup tema-tema tasawwuf dan ilmu kalam. Dalam sebuah cerita Imran Al
Munqiri, Hasan (Abu Said) mengatakan bahwa al faqih adalah al zahid fi al
dunya, al raghib fi al akhirah, al bashir bi amri dinihi al mudawim ala ibadati
rabbihi (Faqih adalah orang yang zuhud di dunia, menyukai akhirat, mengerti
perkara agama dan selalu beribadah kepada Tuhannya). Riwayat ini bisa kita temukan
dalam Sunan Al Darimi. Ali Ibn Abi Thalib pernah menggunakan terma fiqh yang
justru merujuk kepada tema-tema moralistik. Ia mengatakan “Faqih, sebenar-benar
faqih, adalah orang yang tidak menjauhkan manusia dari kasih sayang Allah,
tidak membiarkan mereka dalam kemaksiatan, tidak mengajak mereka kepada siksa
Allah dan tidak meninggalkan Al Quran demi perkara lain…”. Tidak adanya
spesifikasi yang khusus atas terma fiqh ini terjadi sampai pertengahan abad ke
dua. Maka kita masih bisa memahami jika Abu Hanifah menuliskan Al Fiqh Al Akbar
yang nota bene berbicara bukan fiqh, melainkan akidah. Abu Hanifah menyatakan
bahwa fiqh adalah ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban. Sehingga
masuk dalam pengertian ini masalah kepercayaan, akhlaq, tasawuf, dll. Bahkan
terdapat istilah Fiqh adalah mengetahui sesuatu yang bermanfaat dan merugikan
diri seseorang.
Setelah terma fiqh
melewati abad ke dua, terutama setelah cabang pengetahuan hukum Islam mekar dan
berkembang sedemikan rupa, ia mulai mengalami spesifikasi makna. Yaitu ketika
karya-karya induk dalam disiplin ini cukup merata di seentareo wilayah Islam
dan diikuti tradisi pengembangan literatur-literatur induk berupa syarkh
(komentar), ikhtishar, khulasah (resume) syarkh-syarkh (komentar atas komentar)
yang membuncah. Wacana fiqh mulai menghegemoni. Bahkan kemudian sampai bisa
disimpulkan bahwa teori hukum Islam yang mulanya disistematiasikan Al Syafi’i
di abad II menjadi laiknya the queen of Islamic science.
Kemudian banyak alim
yang tak nyaman dengan penggunaan terma fiqh yang tak terspesifikasi. Akhirnya spesifikasi
term fiqh terjadi. Namun Para Ulama’ bervariasi dalam mendefinisikan Fiqh menurut
terminologi syara’, tetapi semua definisi bermaksud sama, yakni:
الفقه هو العلم بالأحكام الشرعية العملية
المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Fiqih adalah
pengetahuan tentang hukum-hukum syari’ah yang bersifat amaliyyah (sebuah
pekerjaan) yang cara memperolehnya digali dari dalil-dalil syari’at yang
terperinci.”
Dari terma ini
terdapat beberapa penjelasan:
a. Fiqh sebagai ilmu (الفقه علم), maksudnya bahwa fiqh memiliki objek dan kaidah tersendiri.
Jelas bahwa objek fiqh adalah af’alul mukallaf, maka pastinya bukan hati, aqal
dan rasa yang menjadi objeknya.
b. Fiqih adalah pengetahuan tentang
hukum-hukum syari’ah (الفقه العلم بالأحكام الشرعية), maksudnya bahwa hukum-hukum syari’ah digali dengan metode
sam’i (pengamatan) yang bersumber dari syara’ bukan bersumber dari akal
misalnya pengetahuan tentang alam adalah sesuatu yang baru, dan bahwa satu
adalah separuh dari dua. Begitu juga bersumber dari ketetapan (الوضع) dan istilah bahasa (الاصطلاح اللغوي).
Oleh sebab itu hokum syar’i merupakan kaidah yang ditetapkan syara’. Adapun
kaidah tersebut terkadang mengandung hokum tuntutan baik term tahalab atau
taklif (tuntutan untuk melakukan atau meninggalkan), dan mengandung hukum
wadl’i (hokum yang dating sebagai menjadi sebab, syarat, mani’, sah dan fasid)
c. Fiqh adalah ilmu tentang hokum-hukum
syar’iyyah yang bersifat amaliyyah (الفقه العلم بالأحكام الشرعية العملية), maksudnya bahwa hokum fiqh berhubungan dengan masalah
perilaku (amaliyah) yang berhubungan dengan perbuatan badaniyyah manusia dalam
hal ibadah dan interaksi keseharian (mu’amalah yaumiyah). Maka hokum yang tidak
berhubungan dengan masalah perilaku bukanlah termasuk kategoei fiqh, misalnya
hokum akidah dan hokum tentang perbaikan hati yang disebut ilmu tasawuf sebab
hal itu berhubungan dengan keadaan hati.
d. Fiqh adalah ilmu yang digali dari
dalil-dalil hokum yang terperinci (علم الفقه مكتسب من أدلة الأحكام
التفصيلية), maksudnya bahwa
hokum-hukum bukanlah termasuk fiqh kecuali jika hokum tersebut disandarkan pada
syara’. Jadi jika peraturan pemerintah tidak bersandar atau bersumber pada
syara’ maka bukan termasuk fiqh.
Jadi Jati diri Ilmu
Fiqih terdiri atas sekelompok besar hukum syari’ah (bersumber wahyu), berobyek
bahasan perilaku orang mukallaf (praktis, bukan etis atau estetis),
dikembangkan dari dalil-dalilnya (normatif) yang sistematika perumusan
simpulannya ditempuh dengan berbagai teori dan metode ijtihad.
Jika dalam disiplin ilmu dikenal
mabadi’ asyroh (sepuluh pengantar), maka fiqh sebagai suatu ilmu juga
memilikinya:
1) Definisi Fiqh
Definis secar jelas telah diterangkan
dalam pembahsan terma fiqh dan perkembangannya.
2) Sumber Hukum Fiqh:
Sumber hukum fiqh dalam hal ini
bersumber pada Kitabullah, Sunnatur Rosul, yang kemudian ditetapkan dengan
jalan ijtihad (ijma’ dan qiyas).
3) Faidah ilmu fiqh;
Dengan ilmu fiqh, manusia dapat
mengetahui mana yang dioperintah, yang dilarang, yang haram, yang halal, yang
sah, yang batal dan yang fasid. Selain itu manusia dapat mengetahui cara
menyelenggarakan ibadah dan memelihara jiwa.
4) Pembahasan / Objek Ilmu Fiqh
Yang menjadi objek ilmu fiqh adalah
tindakan hukum mukallaf. Oleh sebab fiqh mengatur aspek pokok kehidupan
manusia;
a.
Mengatur
langsung hubungan trnsendental manusia dengan Penciptanya (Ubudiyyah)
b. Mengatur aspek kehidupan yang mempunyai
korelasi langsung dengan pengelolaan kehidupan material dan social yang
bersifat duniawi. (mu’amalah). Aturan aspek duniawi dan social ini dalam
perkembangannya oleh abdul Wahab Kholaf diakatakan mengandung aspek:
a) Hukum Keluarga (akhwalus shakhshiyyah)
termasuk munakahat.
b) Hukum transaksi keuangan / perdaganagn dan
hak (Mua’amalah madaniyyah)
c) Hukum Pidana (jina’iyyah)
d) Hukum Peradilan (Qodlo’ / Murofa’at)
e) Hukum penyususnan perundang-undangan
(Dusturiyyah)
f) Hukum ketatanegaraan (Dauliyah)
g) Hukum Ekonomi dan Keuangan
(Iqtishodiyyah wa maliiyah)
5) Hukum Mempelajari Fiqh
Sebab ilmu fiqh mengatur tentang ibadah
yang menjadi inti agama, maka ilmu fiqh wajib dipelajari. Namun di dalamnya,
terdapat hal yang wajib dipelajari seluruh muslim dan wajib dipelajari beberapa
golongan muslim. Yang wajib dipelajari seluruh muslim adalah yang berhubungan
dengan kewajiban sebagai mukallaf secara
umum seperti sholat, zakat, dan semacamnya. Adapun yang wajib diketahui beberapa
golongan adalah tentang sayarat qodli yang harus diketahui golongan qodli dan
semacamnya.
6) Masalah / isi Fiqh
Masalah yang dibahas adalah ketetapan
dan keterangan fiqh, misalnya sholat itu wajib, wudlu’ itu syarat sah sholat,
masuk waktu sholat adalah sebab diwajibkannya sholat.
7) Penyusun Ilmu Fiqh
Penyusun ilmu fiqh adalah apara
mujtahid.
8) Keutamaan ilmu Fiqh
Mengetahui jalan untuk mendapat
keselamatan dunia dan akhirat (sa’adatud daroini). Selain itu mampu mengetahui
sebagian besar ilmu hukum yang dikehendaki agama.
9) Nama-Nama Ilmu Fiqh
Ilmu Fiqh, Ilmu Furu’ (membahas hukum
cabang yakni hukum amaliyah), Ilmu hal (ilmu yang berlaku di dunia), ilmu halal
wal haram, ilmu syara’ wal ahkam.
10)Perbandingan Ilmi Fiqh dengan ilmu lain
Perbandingan yang lebih dari ilmu ini
adalah pembahasan tentang kebaikan lahir (urusan amaliyah) sebagaimana
kelebihan dalam ilmu tauhid dan tasawuf untuk kebaikan batin, dimana tauhid
untuk kebaikan i’tikad dan tasawuf untuk kebaikan rohani.
11)Ilmu Pendukung Ilmu Fiqh
Ilmu pendukungnya adalah fannul furuq
(perbedaan bentuk hukum), fannul ahkamis shulthoniyyah (kemasarakatan dan
ketatanegaraan), Fannul bida’ (penolakan bid’ah dan penguatan sunnah), Fannul
Adab (tata adab yang berhubungan dengan implikasi hukum), fannul khilaf (kaidah
mempertahankan hukum hasil ijtihad ulama’ yang berbeda dan membantah hukum).
4. Sekilas Fiqh Sebelum Islam
Sejarah masyarakat
arab, sebelum islam datang, terbagi menjadi masyarakat kota dan masyarakat badui.
Masyarakat kota hidup menetap dan menciptakan budaya, bertanam dan berdagang. Suku
Quraisy mempunyai musim ekpedisi dagang. Musim panas berdagang ke Syam. Musim
dingin ke Yaman. Masyarakat badui hidup nomaden, penggembala. tak bisa baca
tulis, hidup di padang pasir, sering bertengkar dan bermusuhan, suka merampas,
merampok dan berperang. Tradisi balas dendam adalah kewajiban suci orang Arab. Otoritas
penyelesai perkara adalah setiap orang yang berselisih sendiri.
Saat itu Makkah telah
menjadi pusat aktifitas masyarakat saat pelaksanaan haji. Di sana mereka
membanggak`n keturunan, memuliakan nenek moyang, mendendangkan puisi, bahkan
diskusi. Mayoritas orang Arab menyembah berhala walaupun sebagian Yahudi dan
Nasrani yang melarang mengubur anak perempuan, tidak minum arak dan berjudi.
Hukum yang berlaku
adalah tradisi kabilah. Ada juga pengaruh ajaran-ajaran Kristen seperti ayah
adalah pemimpin keluarga yang ditataati dan diambil nasehatnya. Anggota
keluarga mempunyai kebebasan diri dan keuangan. Namun seorang ayah akan
bermusyawarah dengan anak perempuannya prihal pasangan mereka. Model pernikahan
saat itu Nikah Mut’ah, Syighar, Akhdzan dan Baghoya. Tradisi mengubur anak
perempuan hanya dilakukan sebagian Bani Tamim dan Bani Asad. Itu pun terbatas
pada komunitas miskin. Tradisi khitbah dan pernikahan yang lazim pada masa
sekarang juga merupakan bagian dari tradisi mereka. Dalam masyarakat Arab
menikahi dua perempuan bersaudara dibolehkan. Mekanisme talak saat itu; dlihar,
ila dan talak seperti kita ketahui sekarang namun tidak mengenal batas hitungan
talak dan dapat merujuknya kembali sebelum masa ‘idah (penantian). Jika terjadi
setelah masa ‘idah, mereka tidak bisa mengawininya kembali kecuali atas persetujuan
pihak perempuan.
Bentuk warisan saat
itu adalah Al Qarabah, Tabanni dan Al Half wa Al ‘Ahd dan Al-Wila’. Sebab-sebab
kepemilikan yang berlaku adalah paksaan, waris, wasiat, hibah, jual beli, judi
dan penipuan, kesepakatan riba (pelebihan). Ketika masa pinjaman sudah berlalu,
pihak yang meminjami akan memberikan pilihan kepada si peminjam untuk memilih
antara mengembalikan utuh atau melebihkan pinjaman. Mereka biasa mengatakan
“Addi au arrib” (Lunasi atau lebihkan).
Dalam hal sengketa
mereka mengenal qiyafah. Tidak hanya itu, qiyafah juga berfungsi dalam
keputusan tindak kriminal. Orang Arab bisa mengenali siapa pelaku dengan
meneliti jejak-jejak kaki. Farrasah juga merupakan bagian dari keahlian orang
Arab menentukan siapa pelaku kriminal dengan memperhatikan suara, raut wajah
dan gerak orang yang berbicara. Cara lain adalah Qassamah. Dalam hal kriminal
juga dikenal diyat. Sisi lain etika perjamuan, berpakaian, pesta pernikahan,
hari-hari besar sudah ada dan dipraktekkan oleh bebagai kalangan kabilah.
Dalam tradisi
politik, mereka mengenal syura. Dalam hal peribadatan, kepercayaan dan ritual
mereka melakukan penghormatan Ka`bah dan Tanah Suci Makkah, prosesi Haji dan
Umrah, mensucikan Bulan Ramadhan, memuliakan bulan Dzul Qa`dah, Dzul Hijjah,
Muharram, Rajab yang sering disebut “Al Asyhur Al Haram” dan berkumpul di hari
Jum`at.
5. Fiqh Masa Kini (Kontemporer)
Fiqh masa kini
disebut dengan Fiqih Mu’ashirah dengan obyek kajian al-waqi’ah al-ashriyah.
Dalam kenyataan masalah yang mewarnai kajian fiqh kontemporer terdiri atas
kasus aktual (nyata terjadi dan hangat menurut saatnya) dengan ciri umum belum
terangkat dalam referensi fiqih klasik, namun kebutuhan untuk memperoleh
pemecahan hukum dari masyarakat cukup besar. Maka jawaban atas masalah tersebut
harus dikonsultasikan dengan Ilmu Fiqh.
Oleh sebab itu untuk
menjawab dan menyelesaikan problem hukum baru harus memanfaatkan semua
perangkat metodologis Ilmu Fiqih, antara lain: pola pendekatan legal
formalistik, pengoperasian al-qawa’id al-fiqhiyah, penyimpulan dalil-dalil
syar’i dengan berpedoman teori ushul al-fiqh, kajian filsafat dan hikmatu
al-tasyri’ dan pengadaan bukti referensi tekstual berupa kitab-kitab fiqih
untuk kepentingan pertanggung-jawaban ilmiah sesuai tradisi ilmu fiqih. .Contoh
masalah-masalah hukum kontemporer: (a) perkawinan antar pemeluk agama yang
berbeda; (b) harta gono-gini; (c) perubahan kelamin; (d) pajak obyek waris; (e)
zakat jasa; (f) bunga deposito; (g) obligasi; (h) asuransi; dan (i) SMS
berhadiah. (Hasjim Abbas).
Maka saat ini
diharapkan timbul sikap kesadaran umat Islam betapa Ilmu Fiqih sebagai disiplin
ilmu berwatak dinamis, sarat perbendaharaan konsep hukum, doktrin hukum, fatwa
hukum, yurisprudensi dan kodifikasi hukum ijtihadiyah. Sikap kesadaran tersebut
setidaknya meyakinkan umat bahwa fiqih siap menyajikan jawaban, minimal modal
dasar pemecahan hukum terhadap masalah-masalah yang tengah dirasakan masyarakat
sehubungan dinamika kehidupan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tehnologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar